Kamis, 22 Oktober 2015

Penggunaan Antibiotik yang Tidak Rasional

Penggunaan Antibiotik yang Tidak Rasional di Indonesia.

Sebuah studi tentang penggunaan antibiotik di Indonesia menyimpulkan bahwa penggunaan antibiotik terkenal memiliki beberapa efek negatif. Sekitar 10 persen dari antibiotik yang diberikan orang akan mengalami beberapa jenis efek samping,termasuk mual, pusing, ruam kulit dan bahkan shock. Beberapa orang meninggal akibat komplikasi tersebut.

Lebih jauh lagi, antibiotik dapat membuat bakteri menjadi resisten. Semakin banyak penggunaan antibiotik, semakin besar risiko resistensi yang terjadi. Bakteri yang tahan terhadap antibiotik kini telah muncul di seluruh dunia sebagai konsekuensi dari penggunaan antibiotik yang sangat luas. Bakteri resisten menyebabkan infeksi yang jauh lebih sulit untuk diobati. Pasien mungkin tidak merespon pengobatan dan bisa mati karena infeksi bakteri resisten tersebut.

Di Amerika Serikat, di mana penggunaan antibiotik sangatlah luas, beberapa jenis bakteri Staphylococcus aureus yang resisten menginfeksi dan membunuh 17.500 orang setiap tahun, dan di Inggris bakteri yang sama menyebabkan keracunan darah pada sekitar 8.000 orang setiap tahun, dan banyak meninggal karena infeksi ini.

Antibiotik bukan obat berbahaya, tetapi obat-obat ini hanya boleh diresepkan jika infeksi bakteri terbukti ada. Masalah seperti itu sangat tinggi di negara-negara yang menggunakan antibiotik terlalu banyak.

Dalam penelitian tersebut, dengan mengambil sampel penggunaan antibiotik oleh 4.000 pasien dan keluarganya di Semarang dan Surabaya, ditemukan bahwa sebagian besar antibiotik yang diresepkan tanpa indikasi yang tepat.

Penyalahgunaan antibiotik juga sangat tinggi di rumah sakit. Banyak dokter memberikan antibiotik tanpa indikasi yang kuat adanya infeksi. Bayi yang baru lahir secara rutin diberi antibiotik sefalosporin saat lahir di rumah sakit meskipun mereka sangat sehat. Juga, pasien dirawat di unit perawatan intensif diberikan antibiotik secara rutin tanpa bukti infeksi.

Dokter Indonesia mengatakan mereka khawatir terjadi infeksi dan antibiotik diberikan dengan keyakinan awal akan mencegah terjadinya infeksi (nah loh, sejak kapan antibiotik berkhasiat mencegah infeksi?).

Dokter juga secara rutin meresepkan antibiotik untuk pasien yang jelas-jelas menderita infeksi yang disebabkan oleh virus (seperti demam berdarah atau flu atau bahkan flu biasa) meskipun mereka tahu antibiotik hanya membunuh bakteri dan virus tidak. Sekali lagi, mereka tampaknya berpikir mereka akan mencegah infeksi bakteri dalam kasus ini. Tidak ada  bukti ilmiah yang yang mengatakan penggunaan antibiotik akan mencegah infeksi.

Dokter Indonesia tampaknya tidak menyadari konsekuensi bahaya dari penggunaan antibiotik yang berlebihan dan penyalahgunaan antibiotik pada pasien mereka. Dalam banyak kasus, pasien dirawat tanpa diagnosis mikrobiologi yang tepat, sehingga dokter tidak benar-benar tahu apa penyebab penyakit pasien itu. Mereka menggunakan antibiotik seperti seorang ahli bedah melakukan operasi dengan mata tertutup. Juga, dalam banyak kasus yang memiliki indikasi untuk penggunaan antibiotik, pilihan
antibiotiknya yang salah. Ada berbagai jenis antibiotik dan dokter pada umumnya hanya memiliki pengetahuan yang marjinal tentang antibiotik.

Apa konsekuensi dari penggunaan antibiotik yang berlebihan?

Yang pertama adalah antibiotik adalah obat yang relatif mahal. Indonesia memiliki sekitar 110 kelas A dan rumah sakit negara B, masing-masing dengan anggaran operasional sekitar Rp 200 juta per tahun, dimana sekitar Rp 30 juta dihabiskan untuk antibiotik.

Rumah sakit menghabiskan sekitar Rp 3,3 triliun pada antibiotik saja setiap tahun. Jika dokter hanya akan meresepkan antibiotik jika diperlukan, hal ini dengan mudah akan menyelamatkan rumah sakit dan pemerintah Indonesia setidaknya Rp 1 triliun pertahun.

Mengurangi jumlah antibiotik yang digunakan juga akan mengurangi risiko mikroorganisme yang resisten muncul dan menyebabkan infeksi di rumah sakit dan dengan sendirinya menyelamatkan nyawa banyak orang Indonesia. Memilih antibiotik yang tepat juga akan mengurangi resiko bakteri resisten. Selain itu, fasilitas mikrobiologi harus diperluas di rumah sakit sehingga keputusan klinis lebih sering didasarkan pada bukti laboratorium. Akhirnya, pasien Indonesia akan mendapat manfaat lebih banyak lagi jika di setiap rumah sakit dokter bersedia untuk mengikuti pedoman tentang bagaimana menggunakan antibiotik secara rasional. Pedoman ini tentu saja, harus berdasarkan bukti dan tidak didikte oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk industri farmasi.


Sumber: The Jakarta Post, 20 Agustus 2007